Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Saturday, November 16, 2013

Dilemma

Dilemma
“Kurasa, kita cukup sampai di sini,” aku menghentikan langkahku, Suara serakku memecah keheningan. Dari bawah sinar lampu persimpangan yang seadanya, aku bisa melihat perubahan warna di wajahmu.
“Ke-kenapa?” katamu dengan terbata, Gerakan bolamatamu mencoba mencari-cari sesuatu di sekitar wajahku.
“Aku membuatmu tidak bahagia malam ini, Sayang?” nadanya terdengar khawatir. Aku bergulat dengan pikiranku sendiri.
Perempuan mana, yang tidak bahagia ketika tau bahwa dirinya begitu dicintai lelaki yang dicintainya. Perempuan bodoh mana yang tidak bahagia, lelaki yang diinginkannya pun turut
menginginkannya.
“Terimakasih untuk malam ini, Juli. Aku menyukai konser musik klasik, dan juga es krim cokelatnya,” ada guratan-guratan halus di wajah Juli yang turut menatapku curiga, bertanya-tanya.
“Lalu, ada apa Sayang?” Aku menyukai suaranya yang lembut seperti beledu, begitu tenang, menyiratkan sejuta melodi indah yang membuatku lebih hidup.
Wajahku seperti kanvas kosong, yang mana, kehadiranmu membuat seribu expressi dengan sentuhan-sentuhan hangatmu, lalu mengukir kenangan tiap kebersamaan kita.
“Juli, tidak ada yang salah soal perasaan, hanya saja, waktu yang mempertemukan kita
terlambat. Aku tau, kamu tau—dan kita sama-sama tau, tapi untuk mengerti aja gak cukup,” mataku hampir berkaca-kaca, aku menarik napas perlahan—menyadari kehampaan yang kini bertubi-tubi menghantamku.
 “Kita perlu sama-sama berpikir jernih, mengatur ulang semua yang berantakan,” aku melanjutkan. Namun, kata-kata itu tertelan isakku.
Juli berjalan ke arahku, hingga tercipta yang begitu dekat. Mata kami bertemu,  saling mengumpati rindu. Ia melerai airmata dengan sebuah pelukan. Tapi, aku sadar ini tidak boleh terjadi. Aku menghindarinya.
Juli tidak menyerah, ia meraih tanganku, mengusap punggung tanganku dengan perlahan. Kali ini, aku menyerah. Rasanya aku ingin larut dalam setiap hembus napasnya.
“Tisya, aku menikmati setiap detik kebersamaan kita, Aku ngerasa nyaman sama kamu, kalau aja cinta ini bisa disederhanakan, cuma kamu dan aku, untuk bahagia. Dan tetaplah seperti ini,”
Kamu mengiklarkan sesuatu yang berhasil membuat hatiku menggelembung, kemudian
aku seperti ditabrak beton kokoh yang menghalangi kita.
Aku menggeleng kuat-kuat.
“Aku mencintaimu,” aku bisa mendengar dengan jelas lirihanmu. Kalau tidak salah, ini kesepuluh kalinya kamu mengatakan hal itu untuk hari ini. Lampu mobil berseliweran melewati kami, bau basah sehabis hujan menjadi atmosfer sendu sempurna. Aku menyemai kristal-kristal
bening di mataku, menjadi sebentuk embun yang jatuh senada dengan sesungukan.
“Lupakan aku, kumohon.. Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini,” aku menoleh, mataku kini menatap retinamu dengan nanar.
“Aku mencintaimu,” aku benar yakin kali ini yang ke sepuluh.
Aku masih bungkam, tidak ada satu katapun yang dapat merealisasikan keinginan kita.
Apa lagi untuk bersama. Kisah ini terlalu rumit, aku tidak ingin meninggalkanmu dengan lipatan-lipatan kekecewaan.
“Aku mencintaimu, Latisya,” ini yang ke sebelas dan aku mulai menggila. Hebatnya, kamu selalu membuatku blingsatan dengan pertanyaan-pertanyaan tolol yang kubuat sendiri,
memaku sensorikku, menarik seluruh implus syaraf, untuk selalu mengingatmu.
"Aku tidak ingin menyakiti.. Karel," akhirnya kusebutkan juga nama itu di hadapannya, yang sudah kutahan-tahan sejak tadi. Roll film di otakku kembali mengingatkan, betapa baiknya Karel selama ini, betapa aku selalu melihat ketulusan dalam pijar bening di mata Karel.
Aku mencoba melepas genggamanmu, namun usahaku gagal, remasan tanganmu lebih kuat dari pada yang kupikirkan.
“Ini salahku, Sayang,” bahkan, disaat seperti ini pun aku tetap menyukai panggilan itu. Aku mengacak-ngacak rambutnya—seperti biasa yang kulakukan. Kemudian gerakan tanganku melambat, hingga menjadi belaian lembut pada tiap ruas rambut hitamnya. Padahal, aku baru saja menemukan sesuatu yang baru—bersamamu. Dan aku sangat bahagia. Senyumku menggetir, aku sempat mendesah sebelum tertawa dan membiarkan airmataku turun, membentuk garis sejajar dengan kenyataan. Sekali lagi, aku ditabrak oleh pilar-pilar rindu yang itu-itu saja.
“Aku tidak pernah menyalahkanmu, betapa sungguh.. Sungguh aku mencintaimu,” teriakku—namun yang kuteriakan adalah rangkuman airmata mewakili rasa.

NB: terinspirasi dari lagu kamelia-Irwansyah.

No comments:

Post a Comment