Dilemma
“Kurasa, kita cukup sampai di sini,” aku menghentikan
langkahku, Suara serakku memecah keheningan. Dari bawah sinar lampu persimpangan
yang seadanya, aku bisa melihat perubahan warna di wajahmu.
“Ke-kenapa?” katamu dengan terbata, Gerakan bolamatamu
mencoba mencari-cari sesuatu di sekitar wajahku.
“Aku membuatmu tidak bahagia malam ini, Sayang?” nadanya
terdengar khawatir. Aku bergulat dengan pikiranku sendiri.
Perempuan mana, yang tidak bahagia ketika tau bahwa dirinya
begitu dicintai lelaki yang dicintainya. Perempuan bodoh mana yang tidak bahagia,
lelaki yang diinginkannya pun turut
menginginkannya.
menginginkannya.
“Terimakasih untuk malam ini, Juli. Aku menyukai konser
musik klasik, dan juga es krim cokelatnya,” ada guratan-guratan halus di wajah
Juli yang turut menatapku curiga, bertanya-tanya.
“Lalu, ada apa Sayang?” Aku menyukai suaranya yang lembut
seperti beledu, begitu tenang, menyiratkan sejuta melodi indah yang membuatku
lebih hidup.
Wajahku seperti kanvas kosong, yang mana, kehadiranmu
membuat seribu expressi dengan sentuhan-sentuhan hangatmu, lalu mengukir
kenangan tiap kebersamaan kita.
“Juli, tidak ada yang salah soal perasaan, hanya saja, waktu
yang mempertemukan kita
terlambat. Aku tau, kamu tau—dan kita sama-sama tau, tapi untuk mengerti aja gak cukup,” mataku hampir berkaca-kaca, aku menarik napas perlahan—menyadari kehampaan yang kini bertubi-tubi menghantamku.
terlambat. Aku tau, kamu tau—dan kita sama-sama tau, tapi untuk mengerti aja gak cukup,” mataku hampir berkaca-kaca, aku menarik napas perlahan—menyadari kehampaan yang kini bertubi-tubi menghantamku.
“Kita perlu sama-sama
berpikir jernih, mengatur ulang semua yang berantakan,” aku melanjutkan. Namun,
kata-kata itu tertelan isakku.
Juli berjalan ke arahku, hingga tercipta yang begitu dekat.
Mata kami bertemu, saling mengumpati
rindu. Ia melerai airmata dengan sebuah pelukan. Tapi, aku sadar ini tidak
boleh terjadi. Aku menghindarinya.
Juli tidak menyerah, ia meraih tanganku, mengusap punggung tanganku
dengan perlahan. Kali ini, aku menyerah. Rasanya aku ingin larut dalam setiap
hembus napasnya.
“Tisya, aku menikmati setiap detik kebersamaan kita, Aku
ngerasa nyaman sama kamu, kalau aja cinta ini bisa disederhanakan, cuma kamu
dan aku, untuk bahagia. Dan tetaplah seperti ini,”
Kamu mengiklarkan sesuatu yang berhasil membuat hatiku menggelembung,
kemudian
aku seperti ditabrak beton kokoh yang menghalangi kita.
aku seperti ditabrak beton kokoh yang menghalangi kita.
Aku menggeleng kuat-kuat.
“Aku mencintaimu,” aku bisa mendengar dengan jelas
lirihanmu. Kalau tidak salah, ini kesepuluh kalinya kamu mengatakan hal itu
untuk hari ini. Lampu mobil berseliweran melewati kami, bau basah sehabis hujan
menjadi atmosfer sendu sempurna. Aku menyemai kristal-kristal
bening di mataku, menjadi sebentuk embun yang jatuh senada dengan sesungukan.
bening di mataku, menjadi sebentuk embun yang jatuh senada dengan sesungukan.
“Lupakan aku, kumohon.. Aku tidak bisa terus-terusan seperti
ini,” aku menoleh, mataku kini menatap retinamu dengan nanar.
“Aku mencintaimu,” aku benar yakin kali ini yang ke sepuluh.
Aku masih bungkam, tidak ada satu katapun yang dapat merealisasikan keinginan kita.
Apa lagi untuk bersama. Kisah ini terlalu rumit, aku tidak ingin meninggalkanmu dengan lipatan-lipatan kekecewaan.
Aku masih bungkam, tidak ada satu katapun yang dapat merealisasikan keinginan kita.
Apa lagi untuk bersama. Kisah ini terlalu rumit, aku tidak ingin meninggalkanmu dengan lipatan-lipatan kekecewaan.
“Aku mencintaimu, Latisya,” ini yang ke sebelas dan aku
mulai menggila. Hebatnya, kamu selalu membuatku blingsatan dengan
pertanyaan-pertanyaan tolol yang kubuat sendiri,
memaku sensorikku, menarik seluruh implus syaraf, untuk selalu mengingatmu.
memaku sensorikku, menarik seluruh implus syaraf, untuk selalu mengingatmu.
"Aku tidak ingin menyakiti.. Karel," akhirnya
kusebutkan juga nama itu di hadapannya, yang sudah kutahan-tahan sejak tadi. Roll
film di otakku kembali mengingatkan, betapa baiknya Karel selama ini, betapa
aku selalu melihat ketulusan dalam pijar bening di mata Karel.
Aku mencoba melepas genggamanmu, namun usahaku gagal,
remasan tanganmu lebih kuat dari pada yang kupikirkan.
“Ini salahku, Sayang,” bahkan, disaat seperti ini pun aku
tetap menyukai panggilan itu. Aku mengacak-ngacak rambutnya—seperti biasa yang
kulakukan. Kemudian gerakan tanganku melambat, hingga menjadi belaian lembut
pada tiap ruas rambut hitamnya. Padahal, aku baru saja menemukan sesuatu yang
baru—bersamamu. Dan aku sangat bahagia. Senyumku menggetir, aku sempat mendesah
sebelum tertawa dan membiarkan airmataku turun, membentuk garis sejajar dengan
kenyataan. Sekali lagi, aku ditabrak oleh pilar-pilar rindu yang itu-itu saja.
“Aku tidak pernah menyalahkanmu, betapa sungguh.. Sungguh
aku mencintaimu,” teriakku—namun yang kuteriakan adalah rangkuman airmata
mewakili rasa.
NB: terinspirasi dari lagu kamelia-Irwansyah.
NB: terinspirasi dari lagu kamelia-Irwansyah.
No comments:
Post a Comment