Hanif by Reza Nufa.
Agama diciptakan
Tuhan agar manusia damai dan bahagia. Lebih baik manusia tidak beragama sama
sekali, kalau agama hanya menjadi kendaraan kebencian.
Itu kalimat
pertama yang aku baca di buku ini dan sukses membuat keningku mengernyit.
Buku ini
menceritakan perjalanan dua anak manusia yang mencari kebenaran atas agamanya.
Hanif, seorang pemuda yang terlalu kritis dengan pikiran-pikirannya memandang agama.
Ia menyukai segalamacam debat agama. Ia suka saat berdiskusi dengan salah satu
dosennya. Suatu hari yang menjadi lawan debat adalah Bapaknya sendiri―saat
mereka sedang menonton sebuah acara diskusi tentang refleksi keagamaan.
Hanif terlalu
menggebu-gebu mengemukakan pendapatnya, sementara di sisi lain argumen Bapak
bertolak belakang dan Bapak tetep kekeuh pada pemikirannya yang konservatif. Terjadilah
pertengkaran di antara mereka..
Itu sebabnya
kenapa Hanif memutuskan pergi―mencari sesuatu―yang entah, dia sendiri tidak
mengetahuinya.
Di satu sisi,
Idam, karib Hanif, sekaligus pengikut Hanif kemanapun Hanif pergi. Idam awalnya
bukan model laki-laki heroik macam Hanif. Ia jauh lebih sederhana, jauh lebih
tenang dibandingkan dengan karibnya, yang mana kesederhanaannya kadang membuat
hanif mengecap Idam tidak punya pendirian. Ia begitu mengagumi sahabatnya, Idam
selalu memikirkan Hanif sampai―kadang, ia tidak memikirkan dirinya sendiri.
Saat Hanif
meninggalkannya, Idam sangat terpukul. Ia blingsatan, kenapa Hanif
meninggalkannya tanpa konfirmasi ia boleh mengikutinya. Berbulan-bulan Hanif
pergi mencari ketenangan pemikirannya, dan atas permintaan Disti dan Dinda―yang
notabene sahabat Hanif juga―ia pun mencari Hanif dengan bermodal alamat yang
diberikan Mang Uci.
Ketika Idam
berhasil menemukan Hanif, Hanif malah bersandiwara, ia berpura-pura ikut
pulang, padahal justru Hanif ingin kabur lagi. Saat itu juga, aku―sebagai
pembaca―menyaksikan betapa Idam menjadi superkeren, ia bermetamorfosis menjadi
superhero! Terjadi baku tonjok, pukulannya tepat mendarat di bibir Hanif dan
bibir itu berdarah. Yang mengharukan pas di tonjok, Hanif bukan marah atau
membalasnya, ia malah tersenyum. “Gue seneng lo udah berani mukul gue,” “Lo
udah jadi diri lo sendiri,”
Kata-kata itu
yang paling aku suka.
“Mungkin bagi
lo, hidup lo sekarang sandiwara, sedih senang sama aja. Tapi, bagi orang lain
yang ada di sekitar lo, hidup ini bukan sandiwara, Nif. Bapak lo itu bukan lagi
pura-pura sakit! Dia sakit beneran!”
“Dan lagi, kalau
emang lo pemain sandiwara, harusnya lo bisa bersandiwara buat nyenengin hati
Bapak.” (hal 278)
“Perbedaan
adalah hal-hal baru dalam hidup kita, Dis. Sedangkan cinta adalah hal yang
sudah lama kita punya,” (hall 79)
“Jangan dulu
merasa bahwa kebenaran di tangan kita, semua orang bilangnya sama, yakin sama
agamanya. Padahal mereka dicekoki waktu kecilnya. Waktu kecil kita mana bisa
membedakan yang mana yang salah dan yang mana yang benar? Bedain sapi sama kerbau
aja mungkin kita kesulitan” (hal 66)
Kalimat di atas
membuatku mematung, kemudian setelah menemukan penawarnya di halaman 334 bahwa
Dogma pun diajarkan dengan kasih saying. Bukan paksaan. Kasih sayang itu yang
kemudian membuat seorang anak merasa tak perlu mempertanyakan pelajaran apa
yang diberikan orangtuanya.
Tuan penulis,
jujur, buku ini sangat menarik. Sudut pandang yang diganti-ganti tidak membuat
pembaca kebingungan, sebab, masing-masing aku (idam dan Hanif) mempunyai
karakter yang kuat. Cerita yang diangkat cukup unik dan sederhana, mulai dari
pake jeans yang di bilang celana orang kafir, cara pandang umat muslim mengenai
perbedaa lebaran (nah yang ini adalah sebuah keresahan di hati setiap orang
muslim, mengapa untuk mencapai kemenangan pun kita berbeda) cerita tentang
kehidupan di pesantren (mungkin bagi para santri pernah mengalaminya, kebetulan
aku bukan santri, tapi sangat tertarik dengan cerita teman-teman yang menjadi
santri), masa kecil dua karib yang mencari kenikmatan di buah kecapi, sampai
saat pengajian selesai Bapak menggendong Hanif kecil pulang.
Ini juga yang
terjadi padaku. Di masa kecil, ketika orangtuaku mengaji, aku malah berlarian , bermain atau bercerita
hal-hal seru dan menarik di teras masjid. Begitu sudah lelah, permainanku
berakhir di pangkuan Bapak yang sedang memegangi Al-Qur’an. Ia menggeser Al-Qur’annya dan membiarkan
dadanya menjadi sandaranku, kemudian aku terlelap begitu saja dan Bapak yang
selalu menggendongku sampai rumah, ia tidak tega membangunkan putri kecilnya
yang sedang terlelap, meski esok harinya aku marah-marah kerena sandal favoritku
tertinggal di masjid.
Dalam buku ini
tidak ada tokoh antagonis, yang menjadi musuh justeru pikiran manusia itu
sendiri. Bagaimana seseorang yang beragama mempertahankan keimanannya tanpa
takut berkurang imannya saat bersosialisasi dengan agama lain.
Kadang, orangtua
selalu merasa benar dengan tindakannya. Padahal belum tentu juga mereka benar. Kalau
saja golongan tidak menjadi sekat-sekat antara manusia pasti dunia ini jauh
lebih baik―setidaknya jangan menjadikan agama sebagai perbedaan.
Orang yang
paling sulit bahagia adalah yang punya banyak keinginan, namun tidak mampu
mengelola harapan. Buku ini menjadi sebuah pelajaran berharga yang di petik
dari kesederhanaan kita memandang agama, toleransi agama begitu penting dari
pada yang saklek agamanya tapi ternyata egois.
Entah, setelah
membaca bukumu, Tuan, aku ingin menjadi yang lebih sederhana lagi, yang lebih
menikmati proses pencarian jati diri dalam kehidupan yang diwarnai dengan
dzikir, solat serta iman, dan nantinya perjalanan kita akan berakhir di garis
finish bernama kematian.
“Aku bangga pada
setan yang bersedia menjadi musuh manusia, sekaligus aku malu pada manusia yang
justru berperang sesamanya” (hal 277)
Rasanya, semua
orang wajib membaca buku ini.
Tuan penulis,
terimakasih telah mengenalkanku pada Hanif dan Idam. Mungkin, aku jatuh cinta
pada kesederhanaan sosok Idam dan mungkin juga aku akan menjitak Hanif yang
terlalu keras kepala. Persahabatan mereka patut diacungi jempol―yang susah
senang sama-sama, bertahun-tahun bersama, saling rasa. Aku akan meneraktir sate
kambing kalau sosok mereka beneran ada. Ini sungguhan.
Sekarang, aku
punya dua jagoan baru, Idam dan Hanif.
Oh iya, selamat
ulang tahun ya, Tuan penulis. :)