Ada
getar berbeda saat mata kita bertemu, saling menatap, mengumpati kagum, memuji
dalam diam.
“Elvana.”
Dan jantung ini bergejolak tiap kali kamu memanggil namaku.
“Ya?”
sahutku pelan, kutatap pijar hangat itu, berkali-kali aku mencoba mengeja makna
di matamu.
“Kamu
masih ingat aku, kan?” suara bariton itu begitu akrab di telingaku.
Aku
mendesah, menikmati setiap jengkal napas ini, membuat cemburu andromeda yang
menjadi saksi keakraban kita.
“Mana
bisa aku lupa sama kamu, jabrikk! Kamu cowok paling nyebelin sedunia.” Aku tertawa
kecil melihat potongan rambutnya yang masih sama, seperti yang terakhir kali
kulihat. Jabrik.
Aku
bergeser ke sebelah kiri ketika sadar percakapan kami menghalangi sejumlah
orang yang berlalu lalang. Aku menenteng beberapa kantung belanjaanku yang
berisi roti dan buah pesanan, Alexi.
“Enam
tahun kita gak ketemu, kamu gak kangen sama aku?” aku mendengar helaan napasnya
yang sedikit berat.
Barangkali,
ini hanya sebuah rasa yang naif, yang tidak bisa ku realisasikan dengan kata. Atau,
aku yang salah menilai sosok laki-laki sempurna di hadapanku. Emelio. Tapi rasa
ini begitu menjulang, menagih rindu, berkelebat hebat, dan selalu bermain
petak-umpat dengan hatimu.
“Emelio,
ku kira kamu di mana, ternyata di sini,” suara manja dari perempuan dengan
potongan dress selutut yang bergelayut manja di lengan Emelio itu menarik
sadarku.
“Sayang
ini siapa?” tanyanya saai ia mulai sadar dengan sosokku yang terpaku.
Aku
menghitung bilangan sampai enam dalam hati, kalau tidak salah, Emelio sempat
menarik napas. Pijar matanya berubah cemas dan sedikit sendu, sebelum ia
berkata, “Elvana, ini Kareen dan.. Kareen, ini Elvana, teman… sekolahku dulu.” Ucapnya
setengah gugup.
Kami
berjabat tangan, saling menyebutkan nama. Aku mencoba menarik seuntai senyum
dari sudut bibirku.
“Sayang,
kita harus mengambil pesanan cincin,” nada Kareen seperti mengingatkan.
Ini
kedua kalinya aku menatapmu dengan frustasi, setelah yang pertama kamu
meninggalkanku dengan kecupan di dahi, enam tahun lalu. Dan sekarang, saat kita
di hadap-hadapkan kembali, aku kembali dibuatmu pilu.
Aku
mencoba mencari sesuatu di matanya, tapi tidak ada yang kutemukan selain
semburat sendu.
Bagaimana
jika detik ini adalah diktik terakhir untuk kita? Dan bagaimana jika air mata
yang tidak rela untuk kehilanganmu lagi?
“Ayolah
Emelio, kita gak punya banyak waktu,” rengek Kareen.
Dan
rasanya, waktu yang justru mencekik leherku karena aku terus-terusan
mencintaimu dalam diam, dengan rasa yang kupendam sendirian.
“Elvana,”
Aku mendengar desahanmu, “datang ya, ke pertunanganku?” nadanya penuh harap. Ia
tersenyum ragu saat melihat perubahan warna di sekitar wajahku.
Aku
hanya sanggup melontarkan senyumku menutupi sebagian sendu, sebelum setelah ini
aku yang akan dihabisi rindu itu sendiri.
“Senang
bertemu denganmu,” ia menambahkan sebelum mereka melambaikan tangan lalu menghilang
di ujung blok.
“Aku
kangen sama kamu!” ucapku, mencoba menjawab pertanyaan yang tadi sempat
terabaikan.
Sekarang
tinggal bagaimana aku yang lagi-lagi menelan sakit ini sendirian?
nb: jangan tanyain kapan dibuat kelanjutannya :D
No comments:
Post a Comment