Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Tuesday, July 9, 2013

mencintai dalam diam



Ada getar berbeda saat mata kita bertemu, saling menatap, mengumpati kagum, memuji dalam diam.
“Elvana.” Dan jantung ini bergejolak tiap kali kamu memanggil namaku.
“Ya?” sahutku pelan, kutatap pijar hangat itu, berkali-kali aku mencoba mengeja makna di matamu.
“Kamu masih ingat aku, kan?” suara bariton itu begitu akrab di telingaku.
Aku mendesah, menikmati setiap jengkal napas ini, membuat cemburu andromeda yang menjadi saksi keakraban kita.
“Mana bisa aku lupa sama kamu, jabrikk! Kamu cowok paling nyebelin sedunia.” Aku tertawa kecil melihat potongan rambutnya yang masih sama, seperti yang terakhir kali kulihat. Jabrik.
Aku bergeser ke sebelah kiri ketika sadar percakapan kami menghalangi sejumlah orang yang berlalu lalang. Aku menenteng beberapa kantung belanjaanku yang berisi roti dan buah pesanan, Alexi.
“Enam tahun kita gak ketemu, kamu gak kangen sama aku?” aku mendengar helaan napasnya yang sedikit berat.
Barangkali, ini hanya sebuah rasa yang naif, yang tidak bisa ku realisasikan dengan kata. Atau, aku yang salah menilai sosok laki-laki sempurna di hadapanku. Emelio. Tapi rasa ini begitu menjulang, menagih rindu, berkelebat hebat, dan selalu bermain petak-umpat dengan hatimu.
“Emelio, ku kira kamu di mana, ternyata di sini,” suara manja dari perempuan dengan potongan dress selutut yang bergelayut manja di lengan Emelio itu menarik sadarku.
“Sayang ini siapa?” tanyanya saai ia mulai sadar dengan sosokku yang terpaku.
Aku menghitung bilangan sampai enam dalam hati, kalau tidak salah, Emelio sempat menarik napas. Pijar matanya berubah cemas dan sedikit sendu, sebelum ia berkata, “Elvana, ini Kareen dan.. Kareen, ini Elvana, teman… sekolahku dulu.” Ucapnya setengah gugup.
Kami berjabat tangan, saling menyebutkan nama. Aku mencoba menarik seuntai senyum dari sudut bibirku.
“Sayang, kita harus mengambil pesanan cincin,” nada Kareen seperti mengingatkan.
Ini kedua kalinya aku menatapmu dengan frustasi, setelah yang pertama kamu meninggalkanku dengan kecupan di dahi, enam tahun lalu. Dan sekarang, saat kita di hadap-hadapkan kembali, aku kembali dibuatmu pilu.
Aku mencoba mencari sesuatu di matanya, tapi tidak ada yang kutemukan selain semburat sendu.
Bagaimana jika detik ini adalah diktik terakhir untuk kita? Dan bagaimana jika air mata yang tidak rela untuk kehilanganmu lagi?
“Ayolah Emelio, kita gak punya banyak waktu,” rengek Kareen.
Dan rasanya, waktu yang justru mencekik leherku karena aku terus-terusan mencintaimu dalam diam, dengan rasa yang kupendam sendirian.
“Elvana,” Aku mendengar desahanmu, “datang ya, ke pertunanganku?” nadanya penuh harap. Ia tersenyum ragu saat melihat perubahan warna di sekitar wajahku.
Aku hanya sanggup melontarkan senyumku menutupi sebagian sendu, sebelum setelah ini aku yang akan dihabisi rindu itu sendiri.
“Senang bertemu denganmu,” ia menambahkan sebelum mereka melambaikan tangan lalu menghilang di ujung blok.
“Aku kangen sama kamu!” ucapku, mencoba menjawab pertanyaan yang tadi sempat terabaikan.
Sekarang tinggal bagaimana aku yang lagi-lagi menelan sakit ini sendirian?

nb: jangan tanyain kapan dibuat kelanjutannya :D

No comments:

Post a Comment