Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Monday, May 13, 2013

Tears


 
Aku menangis lagi.

Ku teriakan
larik-larik cinta kita yang
menarik—merenggutku, pada
fakta, bahwa kita sudah tak
lagi bersama.

Entah bagaimana, aku tidak mampu menahan bendungan
yang bersemayam di bawah
pelupuk mataku—keluar dari
dasar kalbu—mengeruyak
rindu yang sedari tadi
menggebu, mengingat kepergianmu.

Air mata ini, perlahan turun.
Membentuk garis sejajar
dengan kenangan.

Membelah
lalu mengukir sayatan-sayatan
kecil pada hati.

Mengeruyak semua kenangan
yang menjelma menjadi bilah-
bilah luka—menyudutkanku
pada rengkuh cinta pekatmu.

Berkali-kali, aku mengutuk
diriku untuk tidak menangisimu.

Berulang kali,
aku sudah memproklamirkan
lelahku.

Tapi mengapa, aku
masih saja mengeluarkan
butiran air mata, yang
merangkum kata cinta, mewakili rasa.

Taukah?

Sadarkah kamu?

"Tolong ajari aku bagaimana
caranya merelakanmu?" di
wajahku sudah tidak lagi tergambar emosi apapun,
kecuali sendu sempurna.

Ku lirih kan namamu, aku
melayang di antara relung yang
meneriakan kekosongan.

"Tolong—tolong beri tahu aku, bagaimana caranya agar tidak
menangis saat kehilangan?"

4 comments:

  1. tangkaplah sapaku yang terbawa oleh mendung ketika kilat menjadi penerangnya.. di sana kan kau temukan piluku bersandar pada amarahku..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih, Tuan. Maaf, jika ini terlalu memilukan. :)

      Delete
  2. Ovie, nulisnya yang sedih-sedih terus :"(

    ReplyDelete