Sebelum menjadi kita, aku dan kamu adalah dua buah tanda tanya yang berusaha mencari jawaban dengan ke-mengertian, sampai pada akhirnya kita lelah, menyerah dan berhenti di sebuah titik, untuk saling berpegangan agar bisa meneruskan perjalanan.

Saturday, April 13, 2013

Akhir penantian



AKHIR PENANTIAN.

Langit jingga.
Aku paling suka berlama-lama
menatapnya dari balik rintik
hujan yang menggelayut di
sepanjang cakrawala.

Aku duduk di bangku reot setengah basah, di ujung halte
bus yang atapnya sedikit bocor.

Orang-orang sibuk berlalu-
lalang menghindari derasnya
hujan, sementara aku sibuk
membiarkan diriku, dengan ingatan yang mengisi labirin
kosong. Mencari tempat teduh,
di dadamu.

"Nona, kau tidak pulang?"
Tanya pemuda yang tersenyum
kearahku. Saat itu aku baru saja keluar
dari gedung sekolah.

Dari balik kacamataku, aku bisa
melihat wajah aristokrat. Tidak
sadar aku sudah menggigit
bibirku, tidak sanggup melihat garis senyumnya yang
menawan.

"Aku menunggu hujan
berhenti," jawabku, aku tidak
membawa payung atau mantel
hujan.

Ia terdengar sedikit mendesah,
"aku tidak yakin hujan akan
cepat berlalu,"
Ucapannya membuat keningku
mengerut,

"aku juga mengira
begitu,"

"Bagaimana kalau kau duduk
denganku, kita bisa
bercengkrama sembari
menunggu hujan reda?"
Ajaknya. Entah ada sihir apa di
matanya, tapi aku merasakan sesuatu yang membuatku
mengangguk, sekali lagi, setelah
ku telusuri, ternyata senyum
itu yang sedari tadi
menggodaku.

Kemudian, aku menggeser tubuhku untuk lebih dekat
dengannya, sambil menatap
tirai hujan yang belum reda
kami bercengkrama.

Hujan menjadi saksi pertemuan kita.

Senyummu menjadi sesuatu yang candu, lebih candu dari
ribuan butir sabu. Dan setiap
kau menyebut namaku, hasrat
ini semakin kuat untuk
menjadikanmu pusat tatasurya,

mengorbitlah...

mengorbitlah dalam galaxiku.

***

"Titania," suara Daniel menarik
sadarku.
Ia memperhatikan setiap sudut
wajahku, terutama bibirku
yang membiru. Aku kedinginan
di terjang hujan.

"Ini, pakai mantelmu, aku tidak
ingin kau kedinginan disini,"
nadanya masih terdengar
khawatir.

Kini, keadaan yang menginjak-
injak kepalaku, membenturkan
pada tembok beton bernama
realita.

Untuk apa lagi? Aku terlalu
berlama-lama, membuang
waktu pada sebuah cinta yang
semu.

Kenyataannya, sampai pada
saat ini, kau tidak kunjung
datang, walau senja telah
menjelang.

Sayang, aku pernah bertahan,
tapi kau tidak pernah
memberiku harapan.

"Pulanglah bersamaku, Titania,
aku akan menjagamu," Sekali
lagi, suara itu menyadarkanku.


cerita terinspirasi dari lagu: Raisha-apalah arti (menunggu)

5 comments:

  1. Sedihnya :"(

    Sedikit koreksi: Bukan memperhatikan tapi memerhatikan :D

    ReplyDelete
  2. Waduh si Ibu editor yg comment di atas memang jeli ya, hehee..
    Entah mengapa, aku selalu suka dengan caramu berbicara, dalam tulisan. Sepertinya kau memang merasakan itu semua dalam kenyataan, hehee.

    ReplyDelete
  3. Makasiih kak evaaa. :D

    Ka di. penulis memang seolah-olah ada di dalam tulisannya. biar lebih menjiwai.

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. aku salah nulis, harusnya kak eviiii. Maaap kak hehehe (^^)v

    ReplyDelete