Air
hujan yang jatuh selalu ikhlas.
Aku
menatapi kaca jendela yang basah karena hujan. Menyemai wajahku yang sedari
tadi sendu. Aku mengigit bibir. Wajahku pias oleh keadaan. Tanganku mencengkram
gordyn bermotif polkadot. Entah sudah berapa lama aku mematung di sini. Menerawang
ke rintik hujan yang tetap saja ikhlas walaupun ia sudah dipisahkan dari awan.
“Syaira,
come on, aku ingin bicara sesuatu padamu,” suara messo sopran itu menarik
sadarku.
Aku
menghela napas sejenak, menghembuskannya perlahan, memejamkan mata sekaligus
menulikan telinga.
Kosong.
Aku
kosong.
Aku
ingin kosong. Bukan hampa kuterima. Apalagi—saat mendengar suaramu—suara yang
selalu terkonfirmasi sebagai nada yang
amat karib dengan gendang telingaku.
Aku
makin kuat meremas gordyn.
“Sayang..”
lirihmu. Kamu mencoba menggenggam tanganku—memisahkan dari gordyn yang sudah
kusut.
Dari
semalam, aku sudah menolak untuk bertemu denganmu. Aku menolak semua ajakanmu,
dari mulai menonton film, bermain badminton, jalan-jalan, bahkan aku menolak
untuk kamu ajak ke kedai kopi—sebagai tempat favorit kita—yang selalu kita
pakai untuk bercengkrama, bercerita panjang kali lebar, atau sekerdar menatap
wajahmu, menikmati mata cokelat pejal, wajah yang terlihat teduh dan sesimpul
senyum yang bias membuat sekitarmu terlihat monokrom. Kamu sempurna.
Kamu
membelikan tubuhku yang sedari tadi menegang. Kini, di hadapanku, aku bias melihat
setiap garis-garis wajahmu, ada bagian yang berwarna kehijauan di sekitar
wajahmu—sepertinya kamu baru saja menghabiskan sepuluh menit waktumu untuk
bercukur tadi pagi. Celana jeans yang senada dengan Kemeja biru yang digulung
selengan—aku seperti baru saja meneguk puluhan gelas vermouth. Mabuk berat.
“Apakah
kamu merasa tidak nyaman denganku, sayang?” suaramu membentuk artikulasi
sempurna, mengalun pelan, dan segera ditangkap oleh otak sadarku.
Aku
menggeleng. “Aku baik-baik saja.”
“Kamu
tidak pernah pintar memainkan drama, sayang,” kamu berhasil membaca bolamataku
yang membendung sesuatu.
Bibir
pucatku bergetar untuk mengatakan sesuatu. Kamu menatapku lagi, kali ini
lebih-lebih mendalam. Tatapanmu berbeda dari pria-pria lain.
“Apakah
kamu bahagia sekarang?” kini giliran aku yang bertanya.
“Ya,
aku bahagia,” balasmu, aku merasakan sesuatu yang amat pedih menyayat-nyayat
hatiku. “Tapi, tidak sebahagia ketika aku bersamamu. Aku tetap mencintaimu. Dan
kamu tetap jadi wanita yang pertama untuk kucintai.”
Beru
kali ini aku merasa di pahami dan memahami seseorang hingga sedalam ini. Aku tak
pernah berpikir panjang. Bahwa apa yang tak terucap terkadang tak lagi penting.
Bahwa ketidakhadiranmu sekalipun bukan berarti perpisahan. Bahwa tidak
memilikimupun bukan berarti kalah.
Bukan
inginku mencintaimu hingga sedalam ini.
Aku
tersenyum getir. Air mataku sudah tak terbendung lagi, pecah berantakan meluber
, melalui pelupuk mata, sejurus dengan sayatan-sayatan pedih tadi.
“Mencintai
itu sebuah pilihan,” kataku.
“Kalau
memang iya, aku sudah memilihmu. Aku ingin kamu, bukan yang lain. Hanya saja
kamu datang terlambat, datang saat yang tidak tepat—saat aku sudah berjanji
dengan yang lain,” aku berusaha mencerna kata-katanya.
Aku
tertawa getir. Menertawai ketololanku. “Aku memang jam karet,”
Tapi
ini bukan lelucon.
Mau
dilihat dari sudut manapun, posisiku tetap saja salah. Tetap tidak benyenangkan—tidak
bahagia, setulus apapun aku mencintaimu, sebesar apapun kamu mencintaiku, tidak
ada satu alasanpun yang membenarkan sebersamaan kita.
Aku
menatap sisa-sisa senyum yang belum pudar dari wajahmu. Entah bagaimana
teknisnya, aku begitu mengagumi apapun tentangmu, semua hal yang berhubungan
denganmu.
Kamu
meraih tanganku, memilin jemariku dengan ruas jemarimu. “Kadang mencintaimu tak
perlu alasan yang cukup—yang berkelit kelit. Mencintaimu kerena sebuah alasan
sederhana.”
Yang
bahagia adalah yang ikhlas, seperti air hujan.
“Aku
mencintaimu,” ucapku.
“Aku
juga,”
No comments:
Post a Comment