Sepasang mata itu menatapku, aku hampir risih dilihatmu seperti ini. Aku diam, kamu juga tak mengeluarkan suaranya. Rasanya sudah sepuluh menit kamu hanya mengamatiku dalam jarak sedekat ini. Aku kesulitan bernapas, atau bisa jadi dalam beberapa detik aku akan mati. Itu yang paling buruknya.
Ah tidak-tidak, ia tidak mungkin
membunuhku, aku tau kamu sangat mencintaiku. Otakku berputar-putar, mencari
cara atas keadaan ini, tapi belum ada satupun rangkuman kata yang terbesit di
kepalaku.
“Kenapa denganmu, sayang?” akhirnya
ia bicara juga, setidaknya ini yang membuatku lega dalam beberapa detik. Tapi beberapa
detik selanjutnya aku tidak bisa menjawab pertanyaannya.
Kalau ditatap seperti ini terus, aku
bisa gila mencintaimu.
Aku menggeleng, “Tidak ada harus kita
bahas lagi,” gumamku. Tapi aku yakin kamu mendengar dengan jelas. Tatapannya menajam,
tidak mengerti dengan kata-kataku. Dadaku makin disesaki keadaan. “Kita tidak bisa
melanjutkan hubungan ini,” aku tersenyum getir, mencoba menutupi segala
kegelisahanku.
Kamu orang yang paling bisa membaca semua
expressiku, sementara aku sebaliknya. Aku tidak pernah bisa membaca makna di
balik setiap tatapanmu. Semuanya terlalu ambigu. Kecuali, saat berada dalam
pelukanmu, aku sadar, akulah perempuan yang kamu miliki, sayang.
“Ini gak adil, hubungan ini bukan
hanya terkait dengan perasaanmu saja. Tapi juga aku, memangnya kalau kita
mengakhiri semuanya, kamu tidak mempedulikan bagaimana aku yang sudah
mencintaimu?” tatapanmu kini makin mendalam, mencari retina, melucuti semua
yang ada dibalik mataku.
Aku menimbang-nimbang apa yang harus
aku ucapkan, “Aku hanya aksesorimu, aku hanya tempat pelarian dari semua
perempuan yang pernah denganmu.” Aku menghela napas sejenak, “aku sangat
kecewa,”
“Sya,” kamu menghela napas panjang, membalikan
tubuhku yang kini menghadapmu. Mata kita beradu, aku tidak tahu lagi apa yang
akan terjadi kalau setelah ini kita tidak bisa saling mengerti. “Tolong
mengerti perasaanku, mereka sudah menjadi masalaluku, sementara kamu, saat ini,
dan seterusnya adalah bagian dariku. Percayalah sayang. Kumohon..” kali ini
nadanya benar-benar memohon.
Aku menggigit bibir, rasanya darah
surut dari wajahku. Ada perasaan antiklimaks saat aku mendengar permohonannya. Aku
ingin berkelit, mencoba tidak mendengar kata-katanya. Aku tertawa. Tidak lucu.
“Kita harus mengakhiri semuanya. Aku tidak
mau lagi seperti ini. Terlalu banyak wanita yang mencintaimu, dan aku hanya
bagian tidak penting yang harus segera kamu tinggalkan,” aku pesimis melihatmu.
Pandanganmu berubah bingung, kamu
meraih tanganku dengan tatapan penuh harap. Aku tidak boleh luluh. Tidak boleh.
Satu detik kemudian, aku sudah berada
dalam pelukanmu. Sungguh, hanya dalam pelukanmu aku percaya, kamu..
“Bagaimana kamu bisa meyakinkan aku? “
kali ini aku memberanikan diri untuk menatapku.
Kamu mengeluarkan sesuatu dari saku
celanamu, sebuah cincin berlian menyembul dari kotak berwarna merah.
“Aku mencintaimu, menikahlah
denganku.. kumohon..”