Aku tidak tahu harus memulai dari
mana, kalau tidak salah ini menit ke sembilan kita saling terdiam. Mengumpati
kata dalam pelupuk ego kita masing-masing.
Di pagi yang sembab ini aku
menemuimu, wajahmu terlihat monokrom senyummu datar, kau mengecup keningku
seperti biasa setiap kali kita bertemu.
Kamu menyuruhku masuk ke apartemenmu, melepaskan mantel merahmuda
favoritku dan menggantungkannya persis di sebelah mantel cokelatmu. Kemudian,
kamu berbalik badan mengambil posisi nyaman di antara bantal-bantal sofa dan
kembali disibukan oleh permainan di tabletmu.
Aku turut menyibukan diriku dengan
novel yang kau belikan beberapa hari lalu, mataku terpusat pada deretan huruf
yang tersusun rapih dalam buku, sementara pikiranku terpusatkan olehmu. Tidak
ada yang harus kita bicarakan lagi. Bahkan sekedar mengucap hai, atau selamat
pagi. Sesekali aku mencuri-curi pandang, berharap kau memulai pembicaraan.
Aku selalu merindukan saat-saat
dimana kau kepusingan dengan skripsimu, sementara aku terpaut dengan draft
novelku, kita melewati malam panjang dengan dua cangkir kopi. Dan jika kopimu
habis duluan kamu selalu menyeruput kopiku tanpa izin. Aku senang melihatmu
seperti itu. Rasanya semua punyaku ingin kubagi denganmu tanpa perlu konfirmasi
lagi. Kita banyak bercengkrama, entah kenapa kita selalu bisa membahas sesuatu,
dari mulai dalam-dalamnya bumi sampai lintas galaxi sampai akhirnya kamu
menyerah.. mendengar ocehanku dan
terlelap begitu saja dengan kepala di atas meja, dengan wajah kelelahan,
meninggalkan bab-bab yang berhasil kau rumuskan. Sementara aku melanjutkan
draftku. Esok paginya kamu mengantarku pulang kerumah dan aku selalu tertidur
sepanjang perjalanan.
Aku rindu saat kamu yang membawakan
payung, menjemputku di halte tram. Saat itu hujan seharian. Dan aku selalu lupa
membawa payung.
Aku rindu dengan durasi film panjang
yang kita tonton, hingga kau terlelap di pangkuanku.
Aku rindu kau menciumku tanpa sebab,
sementara katamu saat melakukan adegan seperti itu kamu menemukan wajahku yang
bertanya-tanya, kenapa kamu menciumku. Dan sialnya, kamu selalu membiarkan
pertanyaan itu menggantung di kepalaku tanpa kau balas dengan apapun kecuali
dengan senyummu yang menggoda.
Aku selalu hafal bagaimana caramu
berbicara denganku, aku selalu mengerti setiap intonasi nada yang kamu
keluarkan, aku selalu suka caramu menatapku, aku selalu berhasil tersipu-sipu
di buatmu.
Tapi sekarang, di hadapanku, aku
tidak menemukanmu, aku tidak mengenalimu aku tidak tahu apa yang sedang ada
dalam pikiranmu. Saai ini tepat lima belas menit kita tidak saling bicara,
tidak saling menyapa kecuali sapaan pertama saat aku baru saja tiba dua puluh
empat menit yang lalu. Di wajahku sudah tergambar sudut-sudut kecewa. Aku
hampir lupa alasan pertamaku datang ke sini. Aku lupa kenapa aku harus
menemuimu pagi-pagi. Karena sudah tidak ada lagi rindu yang sama.
Aku lekas berdiri dari tempat
dudukku. Menghela napas kecewa.
“Aku pulang,” ujarku
Aku memberanikan diri untuk menatapmu
yang masih asik main game. Omonganku tidak digubris sama sekali.
Aku merapihkan mantel merahmuda yang
tadi kau gantung. Aku melangkah pelan, masih berharap sesuatu. Masih berharap
kamu mengatakan sesuatu yang mencegah kepergianku.. jadi aku punya alasan ke
dua untuk berlama-lama, berbagi cerita sederhana denganmu.
Tapi tidak kutemukan semua itu..
Aku menutup pintu perlahan. Dan sudah
tidak menemukan wajahmu yang selalu ingin kulihat.
Seseorang yang tidak kukenal
memberiku secarik kertas saat aku berjalan di lorong. Ia langsung lewat begitu
saja tanpa konfirmasi dia siapa, dari mana dan kenapa memberiku kertas ini. Aku
tidak berhasil mengingat wajahnya. Ia mengenakan cropped tie dan bowl hat yang
menutupi sebagian matanya. Saat aku berbalik badan ia sudah menghilang di
tikungan.
Aku membuka lipatan kertas itu. Dan
menemukan sesuatu.
“selamat ulang tahun, Ardelia..”
Saat aku membacanya seseorang
berhasil meraih tanganku dan mengucapkan “selamat ulang tahun, Ardel,” kemudian
berlari dengan skateboardnya. Ia juga tidak aku kenal.
Satu detik kemudian, saat aku
berbalik badan aku menemukan seseorang lagi membawa sebuah kue taart dengan
lilin angka 20 yang menyala ia memintaku meniupnya. Tanpa kusadari kamu
memelukku dari belakang. Dan mengatakan sesuatu, “Selamat ulang tahun sayang.
Aku sayang kamu.”
Aku berbalik badan.. dan
memukul-mukul bahunya dengan kesal.
“Kamu jahat banget sih,” ujarku. Ia
berhasil membaca kegelisahan yang bercampur dengan kekecewaan di wajahku. Aku
menatapmu dengan tidak percaya, sedari tadi kamu membiarkan aku berkecamuk
dengan segudang pertanyaan yang tidak bisa kumengerti atas sikapmu, kamu
merelakan aku di ambang pilu karena tak kamu ajak bicara. Kamu juga yang seolah
tidak peduli sibuk dengan dirimu..
Aku tau ini bagian dari rencanamu..
dan aku mulai terisak. Kamu merengkuh wajahku, mencium pipiku dan mengatakan
sesuatu, “maafin aku sayang,” katamu lirih. Kemudian memelukku.
Ada banyak hal yang tidak perlu kuucapkan
tapi kamu mengerti, ada banyak kata yang terlanjur membisu, ada banyak debu
yang tiba-tiba tersiram begitu saja oleh hujan. Tapi hanya ada satu yang bisa
selalu mengerti mauku tanpa kuminta, hanya ada satu yang mengerti maumu tanpa
kamu minta, satu hal yang membuatku bahagia yaitu; kita.
Aku sayang kamu.