Dear, Ovie.
Cerpen kamu cukup menarik. Ceritanya, kalau saya gak
salah tangkap, adalah:
Dua
orang musuh di kelas, diam-diam saling jatuh cinta, sama-sama gengsi untuk
mengungkapkan perasaan masing-masing, dan ketika keduanya seperti hampir
dipersatukan, mereka justru terjebak pada sebuah kesalahpahaman fatal.
Maaf kalo salah. Tapi itu yang saya tangkap setelah
membaca 8 halaman cerpen kamu.
Meskipun tema seperti itu udah cukup umum dipakai
(baik di cerpen, novel, FTV), tapi kamu menyampaikan cerita dengan cara yang
cukup menarik. Keputusan kamu menggunakan sudut pandang orang pertama dari dua
orang karakter (Adira dan Hadi) patut diapresiasi.
Sejujurnya, itu bukan teknik sembarangan. Itu teknik
advance yang sebenernya jarang sekali
dipakai oleh penulis fiksi profesional. Meskipun begitu, saya banyak ngelihat
teknik ini dipakai sama penulis-penulis yang masukin naskah ke penerbit tempat
saya kerja. Kamu, seperti penulis-penulis lain itu, terjebak pada satu
kesalahan yang sama: lemah di karakterisasi.
Intinya, dua karakter utama di cerita kamu terasa
seperti satu orang karakter yang punya kesamaan sifat, watak, dan perilaku. Adira
dan Hadi terasa seperti satu orang. Bedanya, Adira cewek dan Hadi adalah cowok.
Udah, itu aja. Selebihnya, mereka sama-sama punya sifat yang keras, sama-sama
gak mau ngalah, sama-sama rela berjuang mati-matian untuk saling mengalahkan
satu sama lain, sama-sama pintar—walaupun awalnya Hadi agak bodoh (tapi
akhirnya nilai matematikanya 99), sama-sama suka memendam perasaan, dan sama-sama
yang lain. Sebenernya gak ada yang salah dengan kesamaan sifat. Tapi kalau
kesamaannya terlalu banyak, rasanya tulisan kamu jadi kurang berdimensi.
Karakter yang ada di sana cuma gitu-gitu aja. Lagian, di kehidupan nyata,
jarang juga kan kita lihat sepasang kekasih (atau suami-istri) yang punya terlalu
banyak kesamaan? Yang sering saya temuin, sifat keduanya malah saling
bertolak-belakang. Kalau yang satu keras, yang satu orangnya suka ngalah. Mereka
punya kesamaan, tapi cuma di satu atau dua hal aja. Yang jelas, biasanya
keduanya saling melengkapi kekurangan masing-masing.
Sebagai contoh: saya. Saya suka menulis dan membaca
fiksi, tapi calon istri saya sangat gak suka membaca, apalagi menulis fiksi.
Sangat bertolakbelakang, bukan? Tapi mungkin justru itulah yang bikin hubungan
kami jadi lebih berwarna. #curcol J
Nah, sekarang coba karakterisasi kamu dipertajam dan
diperdalam. Caranya: bikin dua karakter utama itu punya sifat yang berbeda,
atau bahkan bertolakbelakang sekalian. Kalau Adira memang punya sifat keras,
kenapa Hadi gak dibikin sebagai cowok yang lemah? Bikin yang dramatis sekalian:
Hadi adalah cowok yang cengeng. Oke, gak banyak cewek yang suka cowok cengeng.
Tapi kamu kan penulis. Kamu punya—dan harus bisa bikin—seribu satu cara untuk
membuat Hadi yang cengeng menjadi menarik di mata Adira. Mungkin dia cengeng,
tapi gak suka selingkuh kayak cowok-cowok lain. Mungkin dia cengeng, tapi baik
banget—suka ngasih uang ke orang gak mampu secara diem-diem. Mungkin dia
cengeng, tapi punya kesamaan hobi sama Adira. Ehm, sebagai contoh, mereka
sama-sama suka aero modeling. Gak
masalah punya sedikit kesamaan, asal jangan terlalu banyak aja. Kamu pasti
ngerti dan bisa bikin yang lebih keren dari itu. Dengan cara ini, cinta pertama
antara Adira dan Hadi pasti bakal terasa lebih mengharukan dan lebih bermakna,
karena kedua karakter berusaha menerima kekurangan maupun kelebihan
masing-masing dengan cara mereka sendiri-sendiri.
Ngomongin soal point
of view, kalau boleh saran, sebelum menguasai teknik dasar, lebih baik gak
usah memakai teknik advance. Pakai
aja yang dasar-dasar dulu. Salah satu teori dasar penulisan fiksi adalah: pilih
satu point of view, dan konsistenlah
sampai cerita selesai. Kalau kamu memutuskan memakai sudut pandang orang
pertama, pilih antara Adira atau Hadi saja, jangan ikutin dua-duanya—kecuali
kamu udah jago di karakterisasi.
Sedikit tips: pilih dari dua karakter itu yang
paling menderita akibat konflik dalam cerita kamu. Karakter yang paling
menderita bakal lebih banyak ngasih emosi ke pembaca. Dan semakin banyak emosi
yang dirasakan pembaca, pembaca bakal semakin merasa terhibur. Tapi kalau kamu
gak bisa memilih, ya gak usah maksa, silakan pakai sudut pandang orang ketiga.
Sudut pandang orang ketiga lebih memudahkan penulis untuk pindah antara
karakter satu ke karakter yang lain, tanpa membuat cerita terasa janggal.
Jangan jadi penulis egois yang berusaha kelihatan pintar dengan menggunakan
teknik super, padahal kemampuannya belum memadai. Jadilah penulis rendah hati,
yang walaupun kemampuannya udah super, tapi teknik berceritanya biasa-biasa aja
(contoh: Ernest Hemingway, Harper Lee, Khaled Hosseini, dll).
Yang perlu kamu pahami, jangan terpaku bikin cerita
yang cara penyampaiannya keren aja. Bikinlah cerita yang cara penyampaiannya
biasa, ceritanya mungkin juga biasa, tapi punya makna dan pesan yang dalam.
Tapi juga jangan terlalu menggurui. Makna dan pesan itulah yang akan membedakan
antara penulis biasa dan penulis hebat. Kamu tentunya ingin jadi penulis hebat
kan?
Selain point
of view dan karakterisasi, kritik saya yang lain: coba bikin format tulisan
kamu lebih rapi. Saya langsung kasih contoh:
Copy-paste
dari tulisan kamu:
“Hadi, bayar uang kas dong! Udah tiga minggu lo gak bayar” pintaku
sambil membawa buku catatan uang kas kelas. Kebetulan di kelas VII-B aku
menjabat sebagai bendahara kelas.
Yang benar:
“Hadi, bayar uang kas dong! Udah tiga
minggu lo gak bayar,” pintaku sambil membawa buku catatan
uang kas kelas. Kebetulan di kelas VII-B aku menjabat sebagai bendahara kelas.
Perhatiin: First
line indent di-set di 1 cm, bukan cuma dikasih 2 spasi seperti yang kamu
bikin. Perhatiin ujung dialog. Setelah kata “bayar” dan sebelum tanda petik
dua, harus dikasih tanda baca, entah itu titik atau koma. Dalam kasus di atas,
lebih tepat pakai koma. Selain itu, biar lebih rapi, mending pakai alignment yang Justify, bukan Align Text
Left. Ini ketentuan teknis yang biasanya dipakai di hampir semua media yang
saya tahu. Kelihatannya sepele, tapi bakal berpengaruh besar kalau kamu nyoba
masukin naskah ke penerbit.
Ovie, kamu udah punya modal yang kuat jadi penulis.
Dari segi plot, dialog, alur, kamu sudah cukup baik. Sangat terlihat kalau kamu
punya referensi bacaan yang banyak. Teruslah membaca, dan jangan batasi bacaan
kamu. Jangan cuma baca teenlit, tapi coba baca karya fiksi dengan berbagai
macam genre. Itu akan memperkaya referensi, sekaligus memperkaya kemampuan kamu
dalam bercerita—bahkan tanpa kamu sadari.
Semoga di masa depan kamu berhasil meraih cita-cita
kamu, menjadi penulis hebat yang mengharumkan nama bangsa, negara, maupun agama.
Saya yakin, kalau kamu terus konsisten, terus rendah hati, dan terus belajar,
kamu bakal bisa meraih apa pun impian kamu.
Salam,
Gari Rakai Sambu
to kakak editor. terimakasih terlah mengkeritik begitu banyak tulisan saya yang jelek itu. salam hormat dari penulis pemula ini. saya merasa sangat terhormat sekali bisa di kritik oleh orang super sibuk seperti kak gari. ini modal untuk saya. trimakasih atas ilmunya yang tak sembarangan orang bisa mengajari saya.
salam.
ovie nurbaity paring.
to kakak editor. terimakasih terlah mengkeritik begitu banyak tulisan saya yang jelek itu. salam hormat dari penulis pemula ini. saya merasa sangat terhormat sekali bisa di kritik oleh orang super sibuk seperti kak gari. ini modal untuk saya. trimakasih atas ilmunya yang tak sembarangan orang bisa mengajari saya.
salam.
ovie nurbaity paring.